NU dan Pancasila
Oleh: Mukhammad Ichwanul Arifin
Dewasa ini, muncul dan berkembangnya aliran yang ingin mengganti asas ideologi bangsa indonesia yaitu Pancasila semakin gencar. Dimulai dengan munculnya gerakan Darul Islam (DI) yang bermetamorfosis menjadi Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1970-an. Gerakan ini merupakan sekelompok orang-orang yang ingin membentuk sebuah negara berdasarkan syari’at Islam. Gerakan politik ini diprolamirkan pada 7 Agustus 1949 bertepatan 12 Syawal 1368 H oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa barat. Pemberontakan Kartosuwirjo berlangsung hingga 1962 namun tidak berhasil mendirikan sebuah negara Islam, bahkan Kartosuwirjo dan para tokoh NII lainnya ditangkap di gunung Geber Majalaya Jawa barat. Dalam perkembangannya, NII menyebar di beberapa wilayah. Setelah Kartosuwirjo ditangkap Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini terpecah namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Gerakan NII ini diyakini bermetaformosis lagi menjadi Jama’ah Islamiyah (JI) yang dipercayai berada di belakang sejumlah aksi terorisme di Nusantara dalam satu dekade terakhir.
Berbeda dengan NII yang berkembang sebagai gerakan militan Islam produk lokal (home ground), muncul gerakan Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Muhammad Taqiyuddin al-Nabhani pada 1953 di al-Quds, Palestina dengan tujuan utama menghimpun kekuatan muslim untuk menghadapi imperialisme dan kolonialisme barat yang dipercaya berdiri kukuh di belakang Israel dalam menancapkan kuku kekuasaannya. Meskipun berbeda latar belakang dengan NII, namun keduanya merupakan gerakan yang memiliki afinitas ideologis sebagai gerakan yang menggugat politik demokratik sekuler. Jika NII bersikukuh menawarkan negara Islam sebagai alternatif atas sistem sekuler barat, HT berteriak lantang menyuarakan revitalisasi Khilafah Islamiyyah.
Hizbut Tahrir di Indonesia yang dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mulai nampak di permukaan Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto. HTI memulai kegiatannya dengan melakukan berbagai halaqah di masjid-majid secara tertutup. Inti dari dari gerakan ini adalah menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang saat ini dipakai oleh bangsa Indonesia adalah sistem kufur, oleh karena itu sistem tersebut wajib diganti dengan sistem secara syariat Islam secara kaffah di bawah payung khilafah Islamiyyah.
HTI baru-baru ini telah melakukan ulah secara terang-terangan. Dimulai dengan melaksanakan Muktamar Khilafah sepanjang bulan Mei hingga Juni 2013 disusul dengan melaksanakan Konferensi Islam dan Peradaban pada tanggal 31 Mei 2014 yang digelar serentak di penjuru Nusantara yang tentunya aktivitas semacam ini meronrong integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan Pancasila.
Historitas Pancasila
Perdebatan tentang pancasila memang tidak akan pernah selesai. Di mulai dengan dibentuknya Panitia persiapan kemerdekaan BPUPKI (badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 9 April 1945, yang dalam bahasa jepang disebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai. Panitia ini dikendalikan oleh dua kelompok utama, nasionalisme-Islam dan nasionalisme-sekuler yang dari segi kuantitas, wakil kelompok nasionalisme –islam lebih sedikit dibandingkan kelompok nasionalisme sekuler. Dari 68 anggota, hanya 15 orang yang mewakili nasionalis-Islam.
Dalam panitia kecil yang berjumlah 9 orang yang kemudian dikenal dengan panitia sembilan. Panitia ini terdiri dari 4 orang mewakili Islam, 1 berasal dari non-muslim dan 4 orang berasal dari kelompok nasionalis-sekuler. diskursus atau perdebatan utama dalam panitia ini adalah mengenai bentuk dan ideologi negara, yaitu apakah Indonesia mendasarkan diri pada ideologi Islam atau tidak.
Perdebatan di atas akhirnya melahirkan kesepakatan bersama yang kemudian disebut dengan “Piagam Jakarta”. Piagam ini menyebutkan Indonesia sebagai negara republik yang berasaskan pancasila. Hanya saja dalam piagam itu masih terdapat prinsip-prinsip keagamaan yang mengarah pada semangat Islam, terutama dengan dicantumkan 7 kata, yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada tanggal 11 Juli 1945, ketujuh kata ini dinilai lebih berpihak pada Islam sehingga memicu ketidakpuasan dari kalangan non-muslim, terutama kaum kristen Indonesia bagian timur. Jika tujuh kata itu tidak dihapus, mereka mengancam akan mendirikan negara sendiri yang terpisah dari Indonesia. Akhirnya, atas nama persatuan nasional, para perumus ideologi, terutama dari kelompok nasionalis-Islam memenuhi tuntutan mereka untuk menghapus tujuh kata itu dari Piagam Jakarta. Maka terbentuklah negara Indonesia yang berideologikan Pancasila.
Perspektif NU tentang Pancasila
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi modernis yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 / 16 Rajab 1344 H di surabaya merupakan organisasi yang didirikan dalam rangka untuk melindungi paham ahlussunah wal Jamaah dari pengaruh-pengaruh luar.
NU pada awalnya berasaskan Islam, namun ketika Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Soeharto menginstruksikan agar semua organisasi masyarakat menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas atau lebih dikenal dengan asas tunggal. Instruksi semacam itu menyebabkan reaksi yang bervariasi, tidak sedikit tokoh Islam yang menolak penunggalan asas tersebut. Penolakan tersebut dikhawatirkan bahwa Pancasila akan mengganti fungsi agama. Kelompok yang paling keras menolak instruksi tersebut datang dari kelompok Islam Modernis Radikal seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pimpinan M.Natsir
Permasalahan tersebut oleh NU dibahas pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang berlangsung di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Sitobundo pada tahun 1983 dan pada Muktamar NU ke-27 pada 1984 di tempat yang sama. Pada Akhirnya permasalahan tersebut terselesaikan dengan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal yang lebih dikenal dengan “Deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam” yang berisi: 1) Pancasila sebagai dasar dan Falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama. 2) Sila ketuhanan yang maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminka tauhid menurut keimanan dalam Islam. 3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan Syariah, meliputi hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan Syariat agamanya. 5) Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Keputusan menerima pancasila sebagai asas organisasi membuat NU mempunyai tanggung jawab untuk mengawal bangsa Indonesia yang menganut asas ideologi Pancasila. Setidaknya ada beberapa faktor mengapa NU mempertahankan Ideologi Pancasila. Pertama, Indonesia merupakan negara pluralistik yang terdiri dari berbagai agama. Apabila Islam dijadikan dasar Negara, maka yang menjadi tanda tanya besar adalah konsep Islam yang mana yang akan dijadikan dasar negara. Apakah Syiah dengan konsep imamahnya, atau LDII dengan Imarohnya, atau Ikhwanul Muslimin dengan Daulah Islamiyahnya atau HT dengan konsep khilafahnya. Ketika kita menengok ke Arab Saudi yang menjadikan Wahabi sebagai Mazhab negara, di sana kita dilarang melakukan berbagai amaliyah di luar kepercayaan mereka, seperti Ziaroh kubur dan sebagainya. Apabila kita menentangnya, maka kita dianggap sebagai penista agama dan bisa untuk dihukum mati. Oleh sebab itu Indonesia dengan Pancasilanya merupakan negara yang wajib untuk dipertahankan, sebab di Indonesia semua umat bebas untuk melakukan ibadah dan amaliyah yang diyakininya. Kedua, Penyebaran Islam di Indonesia tidaklah merata. Di indonesia bagian barat memang agama Islam menjadi mayoritas, namun di bagian timur seperti papua, agama Islam menjadi minoritas dan apabila Islam dijadikan dasar negara, maka mungkin sekali terjadi penindasan orang-orang non muslim terhadap muslim. oleh sebab itu dalam rangka untuk melindungi kebebasan beribadah bagi kaum Islam minoritas, maka wajib untuk mempertahankan NKRI dan Pancasila. Ketiga, Islam merupakan agama yang bersumber dari Tuhan, sedangkan Pancasila adalah ideologi atau isme buatan manusia yang sejajar dengan sekularisme, liberalisme dan lain sebagainya. Sehingga Menyejajarkan Islam dengan isme-isme buatan manusia yang lain berarti merendahkan Agama Islam. Padahal agama Islam adalah Agama yang sangat jauh berada di atas dibandingkan dengan isme-isme yang lain. Keempat. Pancasila merupakan hasil Ijtihad ulama perumus dasar negara, seperti KH. Wahid Hasyim yang tidak berseberangan dengan agama.
Dari beberapa analisis di atas, semoga kita semua selalu berjuang untuk mempertahankan NKRI dengan Pancasilanya, sebab dengan Indonesia sekarang ini, Agama yang Rahmatan lil ‘Alamin dapat ditegakkan dengan setegak-tegaknya.
Wallahu a’lam bi as-Showab.
Tidak ada komentar: