Breaking News

Menjadikan ASWAJA Sebagai Teologi Religius-Humanistik

Pernah di suatu saat ketika mata kuliah ilmu kalam, Dosen pengampu melontarkan sebuah pertanyaan. Mengapa kelompok Khawarij walaupun sudah musnah secara institusi tetapi tetap hidup secara pemikiran dan gerakan? Lantas pertanyaan tersebut membuat saya berfikir keras menelusuri asal usul dan sejarah kaum Khawarij.

Tuntutan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib atas sebuah kasus terbunuhnya Sayyidina Ustman bin Affan segera diusut tuntas sehingga menyebabkan pertikaian antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidina Muawiyah bin Abu Sufyan atau yang lebih akrab disebut dengan perang Shiffin berakhir dengan sebuah arbitrase (Tahkim) yang dirundingkan di Daumatul Jandal, di mana Tahkim tersebut dimenangkan secara dramatis oleh kelompok Sayyidina Muawiyah dan menjadi tonggak awal berdirinya Kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah. Bermula dari sini, mereka memprotes Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa arbitrase tersebut. Mereka menganggap bahwa semua pihak yang menerima arbitrase adalah murtad dan kafir disebabkan melanggar hukum Tuhan. Peperangan Shiffin ini terjadi tahun 37 H / 657 M di mana terdapat 12.000 tentara pasukan Sayyidina Ali yang kecewa dengan hasil kebijakan tersebut sehingga menyatakan keluar dari pasukan lalu mereka mendirikan base camp sendiri di Harurah, wilayah Gubernamen Kufah yang mana Kufah pada saat itu merupakan ibu kota pemerintahan sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika menjabat Khalifah yang dibai’at umat Islam menggantikan Sayyidina Usman. Karena mereka mendirikan markas di Harurah, maka kelompok ini juga sering disebut Haruriyyah. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Khawarij.

Kaum Khawarij menganggap bahwa keputusan Tahkim merupakan keputusan yang la diniyyah (Sekuler) yang bertentangan dengan kebijakan politik Tuhan dalam al-Qur’an. Mereka mengutip sebuah ayat “Barang Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir”, “Barang Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang yang Dzolim” dan “Barang Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang yang fasik”. Dari ayat tersebut, mereka tafsirkan secara tekstualis sehingga mereka menganggap bahwa semua orang yang terlibat dalam Tahkim dan menerimanya adalah Kafir dan karena mereka kafir, maka mereka wajib dibunuh. Sungguh pemahaman agama yang dangkal.

Di masa kontemporer ini, banyak bermunculan kaum Khawarij baru (neo-Khawarij), kemunculan kaum tekstualis yang radikal tersebut terbukti telah banyak melakukan aksi terorisme dan pembunuhan, bahwa pembunuhan tersebut tidak hanya mengarah kepada orang kafir, tetapi juga sesama muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Wahabiyah, Gerakan Taliban, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan yang terbaru ISIS merupakan gerakan Islam radikal yang mudah mengkafirkan golongan di luar mereka, terkadang juga memakai cara kekerasan untuk mencapai cita-cita politiknya. Di Indonesia, terdapat gerakan Jam’iyyah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir yang mengkafirkan umat Islam Indonesia dan menganggap sistem pemerintahan Indonesia sebagai sistem Thogut. Bahkan JAT tersebut diduga melatarbelakangi sejumlah aksi terorisme di Indonesia.

Aswaja dan nilai-nilai Humanistik
Menurut Achmad Muhibbin Zuhri dalam bukunya Pemikiran KH, Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (2010), Sebagai aliran pemikiran (School of Thought, al-Madrasah al-Fikriyah) Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) merupakan ideologi moderat (tidak kanan & tidak kiri) dalam menghadapi segala persoalaan, ciri yang paling umum adalah Tawasut (menengahi) sebuah pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran, misalnya antara Jabariyah dan Qodariyah. Tasamuh (Toleran)  yang selalu memberikan toleransi terhadap setiap pemikiran ataupun dalam diskursus sosial dan budaya, bahkan berusaha untuk mengarahkan sosial dan budaya yang berkembang. Tawazun (Seimbang), corak ini dibangun terutama dalam aspek sosial-politik. Dengan ungkapan lain, prinsip tawazun ini ingin mewujudkan integritas dan solidaritas umat Islam.

Dalam hal pemikiran, Aswaja selalu menyeimbangkan antara teks dengan konteks, antara akal dengan wahyu. Walaupun bagi seorang filsuf, kebenaran dapat diraih hanya dengan akal tanpa membutuhkan wahyu, walau didapatkan kepuasan tersendiri, namun justru itu yang akan menjauhkan dirinya dengan agamanya, terutama dengan Tuhannya. Pemikiran semacam ini tumbuh dan berkembang sumbur pada kalangan Mu’tazilah yang sekarang dilestarikan oleh para kaum liberalis. Sedangkan pemikiran yang hanya berdasarkan pada teks dengan menegasikan akal, hanya akan menimbulkan sebuah pemahaman yang sangat dangkal seperti halnya kaum Wahabiyah saat ini, yang gencar menyebarkan slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadist”, tetapi tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.

Dalam hal kemanusiaan, para kaum liberalis memberikan kebebasan mutlak kepada sikap dan perilaku manusia sebagai eksistensinya, meskipun eksistensi tersebut melanggar koridor-koridor agama, sedangkan bagi kaum tekstualis, mereka lebih bersikap tidak manusiawi. Ahmad Imron R dalam Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi (2014) mencatat kekejaman kaum wahabi, diantaranya memerangi penduduk Makkah hingga penduduk Makkah benar-benar mengalami kesusahan, ketakutan dan kelaparan yang luar biasa, sehingga mereka terpaksa memakan bangkai dan anjing, itu pun dijual dengan harga mahal hingga banyak penduduk Makkah yang mati kelaparan, dan masih banyak peristiwa kekejaman yang lain.

Aswaja merupakan ajaran Islam yang benar-benar diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah dan para Sahabat. Saling menghormati, menghargai, toleransi dan saling memberi Senyum kepada sesama manusia merupakan asas yang terpenting. Rasulullah mempersatukan penduduk Yastrib yang terdiri dari berbagai Suku, Agama, Ras dan Antargolongongan dalam sebuah negara yang dikenal dengan Negara Madinah dan membentuk sebuah perjanjian untuk saling membantu antara orang muslim dan non muslim yang didokemtasikan dalam piagam Madinah, yang menurut Imam Fu’adi (2011) secara umum berisikan antara lain bahwa kelompok ini mempunyai pribadi keagamaan dan politik, kebebasan beragama terjamin semua, kewajiban penduduk madinah, baik yang muslim maupun bangsa Yahudi, bantu membantu secara moril dan materiil, dan Rasulullah adalah pemimpin tertinggi penduduk Madinah. Dari sini Rasulullah menanamkan rasa kebangsaan dan nasionalistis di kalangan penduduk Madinah.

Pembumian nilai-nilai aswaja di Indonesia perlu dikembangkan dan dilestarikan, bahkan sangat penting untuk dipertahankan dari godaan “Teologi yang tersakiti” yang mencoba untuk menggusur paham keagamaan yang telah mapan di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai benteng Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia perlu untuk membangun sebuah benteng pertahanan yang kokoh terhadap sistem keagamaan yang mencoba untuk mensusupi sistem yang telah mapan. Maka sangat pantas bila NU mengusung tema “Islam Nusantara”, sebuah Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sebuah Islam yang penuh rahmat, penuh sopan-santun yang tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi kepada umat non-muslim dan kepada seluruh umat manusia yang ada di dunia pada umumnya, oleh karena itu, Dunia wajib mencontoh sistem keagamaan yang dicontohkan oleh Nahdlatul Ulama.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ichwanul_arifin/menjadikan-aswaja-sebagai-teologi-religius-humanistik_565958e11cafbd9810796162

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.